Organisasi
Yang Sehat
Organisasi yang
sehat adalah organisasi yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1.
Organisasi
harus memiliki anggota yang jelas identitas dan kuantitasnya; Saat ini, setiap
organisasi yang modern pasti menuntut para anggotanya memiliki KTA (kartu tanda
anggota), agar tidak timbul ”romli” atau “rombongan liar” yang merupakan
kumpulan dari ”talap” alias “anggota gelap” dari sebuah ”OTB” singkatan dari
“organisasi tanpa bentuk”.
2.
Organisasi
harus memiliki pula identitas yang jelas tentang keberadaannya dalam
masyarakat; Artinya, jelas di mana alamat kantornya. Tampak pula aktivitas
sehari-hari kantor tersebut dalam menjalankan roda organisasi. Ada pula nama,
lambang, dan tujuan organisasi yang termuat dalam AD (anggaran dasar) dan ART
(anggaran rumah tangga). Demikian pula struktur organisasinya. Masih banyak
lagi yang bisa membuktikan keberadaan organisasi itu di mata masyarakat. Jika
identitas tak jelas, maka jangan salahkan masyarakat bila menaruh curiga
terhadap organisasi itu.
3. Organisasi
harus memiliki pemimpin serta susunan manajemen yang juga jelas pembagian
tugasnya; Masing-masing bagian, divisi, maupun seksi juga aktif memainkan
perannya. Tidaklah bagus ketika suatu organisasi yang terlihat aktif hanyalah
ketuanya saja. Ini sangat ganjil dan bisa disebut ”sakit parah”, bahkan tampak
seperti pertunjukan sirkus one man show dalam manajemen organisasi itu.
4. Dalam
setiap aktivitas organisasi harus mengacu pada manajemen yang sehat; Misalnya,
ada tiga tahapan dalam menjalankan roda organisasi, yaitu planning
(perencanaan), action (pelaksanaan), dan evaluation (penilaian). Ketiga tahapan
itu selalu dimusyawarahkan dan melibatkan sebanyak mungkin anggotanya, terutama
saat melewati tahap action. Dalam manajemen itu, yang juga harus mendapat
perhatian serius adalah administrasi. Surat bernomor, kop surat, dan ciri-ciri
administrasi lainnya yang lazim ada di sebuah organisasi.
5.
Organisasi
harus mendapat tempat di hati masyarakat sekitarnya; Artinya, organisasi itu
dirasakan benar manfaatnya bagi masyarakat. Maka, kegiatan organisasi dituntut
untuk mengakar kepada kebutuhan anggota khususnya, bahkan untuk masyarakat di
sekelilingnya.
Organisasi
Berhasil
Seorang gadis desa
murung karena dipaksa menikah dengan pemuda pilihan orangtuanya yang sebetulnya
tidak ia sukai. Hatinya sebenarnya sudah tertambat pada pemuda lain, pemilik
warung kecil di ujung desa. Namun, orangtuanya berpikiran lain. Pilihan mereka
adalah pemuda yang sudah bekerja di kota, karyawan perusahaan swasta, kelihatan
makmur. Sekian tahun kemudian, ternyata si anak yang benar. Warung kecil itu
sudah berubah, selain menjual berbagai kebutuhan serba ada, juga jadi penyalur
gas, wartel, rental VCD, dan pemiliknya sudah menjadi orang paling kaya di desa
itu. Sedangkan menantu pilihan orangtua sudah sekian tahun menganggur karena
terkena PHK.
Cerita di atas
menggambarkan kepada kita bahwa sering kali kita slah mengukur keberhasilan
atau potensi keberhasilan seseorang. Kalau demikian bagaimana kita akan
mengukur keberhasilan organisasi yang lebih besar dan bersifat multidimensi?
Pada awalnya,
banyak orang yang berpikir bahwa mengukur keberhasilan organisasi sederhana
saja, yaitu apa yang menjadi output organisasi dan sejauh mana organisasi
sanggup mencapai sasarannya dalam menghasilkan output tersebut. Kalau sasaran
tercapai berarti organisasi berhasil, kalau sasaran tidak tercapai berarti
organisasi tidak berhasil. Ini dinamakan dengan pendekatan sasaran.
Jika kita pahami
cara yang demikian memiliki banyak jebakan. Seperti contoh, mungkin saja ada
perusahaan dianggap buruk karena sebagian besar keuntungannya ternyata
digunakan untuk investasi memperkuat fungsi pemasaran, sementara di perusahaan
lain sepenuhnya dianggap keuntungan sehingga dianggap lebih berhasil karena
jumlah atau persentasenya lebih besar. Sekian tahun kemudian perusahaan pertama
ternyata unggul, sedangkan yang kedua terpuruk.
Kondisi yang lebih
sulit lagi ialah jika kita akan membandingkan keberhasilan beberapa organisasi.
Apalagi jika yang akan dibandingkan adalah organisasi-organisasi yang jenis
outputnya berbeda. Tetapi, kondisi sulit ini justru memunculkan gagasan baru.
Suatu saat disadari bahwa ada organisasi yang output-nya berbeda
tetapiinput-nya sama. Seperti tukang roti dan tukang cakwe, outputnya jelas
berbeda tetapi inputnya sama-sama terigu. Selanjutnya terpikir bahwa perusahaan
yang kuat mestinya mempunyai posisi tawar yang lebih baik (dibanding perusahaan
yang kembang-kempis) terhadap pemasok bahan baku.
Perusahaan yang
kuat barangkali diizinkan berutang, diberi harga yang lebih rendah, dsb. Dengan
demikian sesungguhnya kemampuan memperoleh input ini bisa dianggap sebagai
keberhasilan ataupun kekuatan organisasi. Maka muncul gagasan untuk menggunakan
pendekatan input, yaitu mengukur keberhasilan organisasi dari kemampuannya
mendapatkan input, terutama yang langka ataupun mahal.
Selanjutnya,
terpikir lagi masalah baru, bagaimana membandingkan keberhasilan organisasi
yang jenis inputmaupun output-nya berbeda? Diukur dengan pendekatan sasaran
maupun pendekatan input mestinya tidak pas karena input dan output-nya berbeda.
Dari kalangan
psikologi, muncul asumsi bahwa jika karyawan atau anggota organisasi merasa
senang dalam menjalankan tugasnya, mereka akan bekerja dengan giat dan baik,
sehingga akan membuat organisasi lebih berhasil. Dengan dasar asumsi itu
kemudian muncul pendekatan proses internal yang berarti keberhasilan organisasi
diukur dari kepuasan kerja dari para anggotanya.
Namun kemudian,
orang mulai tidak puas dengan ketiga cara itu. Hal ini disebabkan masing-masing
pendekatan hanya mengukur satu sisi saja dari keberhasilan organisasi.
Pendekatan sasaran hanya memperhatikan keberhasilan organisasi dalam usaha
mencapai sasarannya, pendekatan input hanya tertarik pada keberhasilan
organisasi dari sisi suplai, pendekatan proses internal hanya mempertimbangkan
kebahagiaan anggota organisasi.
Seringkali
pendekatan seperti ini keliru. Suatu organisasi bisa dikatakan berhasil bila
dilihat dari satu pendekatan, tetapi belum tentu bisa dikatakan berhasil bila
dilihat dari pendekatan yang lain.
Karena berbagai
kekurangan tersebut, muncullah kombinasi dari ketiga pendekatan terseabut,
sehingga kekurangan pendekatan yang satu bisa ditutup oleh kelebihan pendekatan
yang lain. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan integratif. Pendekatan
integratif tidak secara spesifik mengukur keberhasilan organisasi, tetapi
mencoba mendapat gambaran mengenai kondisi dari berbagai aspek yang terdapat
dalam sebuah organisasi, sehingga keluarannya adalah gambaran mengenai profil
organisasi. Selanjutnya, penafsiran terhadap profil itulah yang akan
menggambarkan keberhasilan organisasi. Sekarang ini, pendekatan integratif
lebih dikenal (popular) dengan nama balanced scorecard.
Contoh pendekatan
integratif ini adalah sebuah organisasi yang memiliki beberapa pihak yang
berkepentingan dari organisasi tersebut, misalnya pemilik, karyawan, konsumen,
bank yang memberikan kredit, komunitas, pemasok, pemerintah. Bagi para pemilik,
perusahaan dianggap bagus apabila sanggup memberikan keuntungan finansial yang
besar ke kantong mereka. Untuk karyawan, perusahaan dianggap bagus apabila
mampu memberikan kepuasan kerja, imbalan yang memadai, dan pengawasan yang
“pas”. Konsumen menilai keberhasilan perusahaan dari mutu produk ataupun jasa
yang dihasilkan.
Dari uraian di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan suatu organisasi dapat
dilihat dari beberapa aspek, tergantung dari sisi mana kita akan menilai
keberhasilan tersebut. Beberapa pendekatan pengukuran keberhasilan di antaranya
yang telah dijelaskan ialah melalui pendekatan sasaran, pendekatan input,
pendekatan proses internal, dan pendekatan integratif.
Yang perlu
diperhatikan ialah bahwa apabila suatu organisasi ingin berhasil haruslah memiliki competitive
advantage (keunggulan kompetitif). Untuk mencapai keunggulan kompetitif itu,
tiap organisasi harus siap untuk berubah. Dan untuk menjalani perubahan
tersebut, tiap organisasi harus memiliki agen perubahan (orang-orang yang siap,
mau, dan memiliki semangat untuk menjalankan perubahan).
Contoh
:
ORGANISASI
POSYANDU
Pos
Layanan Terpadu (Posyandu) didirikan oleh masyarakat untuk memberikan layanan
terpadu kepadawarga masyarakatnya, khususnya kesehatan balita. Kegiatan di
posyandu meliputi pemeriksaan kesehatanbayi, penimbangan bayi, pemberian
makanan tambahan, dll.
Pos
Pelayanan Keluarga Berencana - Kesehatan Terpadu (Posyandu) adalah kegiatan
kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang
dibantu oleh petugas kesehatan. Jadi, Posyandu merupakan kegiatan swadaya dari
masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab kepala desa. A.A. Gde
Muninjaya (2002:169) mengatakan : ”Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah
suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah
kerja Puskesmas. Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun,
balai kelurahan, RW, dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu
(Posyandu)”. Konsep Posyandu berkaitan erat dengan keterpaduan. Keterpaduan yang
dimaksud meliputi keterpaduan dalam aspek sasaran, aspek lokasi kegiatan, aspek
petugas penyelenggara, aspek dana dan lain sebagainya. (Departemen kesehatan,
1987:10).
Posyandu
dimulai terutama untuk melayani balita (imunisasi, timbang berat badan) dan
orang lanjut usia (Posyandu Lansia), dan lahir melalui suatu Surat Keputusan
Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri), Menteri Kesehatan (Menkes)
RI, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Ketua Tim
Penggerak (TP) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan dicanangkan pada
sekitar tahun 1986. Legitimasi keberadaan Posyandu ini diperkuat kembali
melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni
2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu” yang
antara lain meminta diaktifkannya kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL)
Posyandu di semua tingkatan administrasi pemerintahan. Penerbitan Surat Edaran
ini dilatarbelakangi oleh perubahan lingkungan strategis yang terjadi demikian
cepat berbarengan dengan krisis moneter yang berkepanjangan.
Menurut Depkes
tujuan diselenggarakan Posyandu adalah untuk:
·
Mempercepat
penurunan angka kematian bayi, anak balita dan angka kelahiran.
·
Mempercepat
penerimaan NKKBS.
·
Meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan kesehatan dan
lainnya yang menunjang, sesuai dengan kebutuhan.
Sumber :
0 Komentar Anda:
Posting Komentar